Salah satu TV berita di Indonesia baru-baru ini tersandung kasus rekayasa narasumber yang berawal dari laporan POLRI ke Dewan Pers atas adanya dugaan rekayasa berita di sebuah acara berita pagi 18 Maret 2010.
Menurut polisi, narasumber bertopeng yang muncul dalam acara tersebut adalah seseorang yang dibayar oleh pihak televisi untuk berpura-pura menjadi makelar kasus yang telah beroperasi selama 12 tahun di Mabes Polri. Tentu saja pihak televisi membantah bahwa pihaknya telah membuat rekayasa terhadap berita.
Banyak spekulasi yang muncul dari kasus ini. Ada yang menduga, kasus ini sengaja dilempar untuk menjatuhkan nama baik stasiun televisi tersebut atau komentar yang mengatakan bahwa stasiun televisi itu menjadi pelanduk yang ada ditengah dua gajah yang sedang bertarung.
Di luar benar tidaknya isu yang beredar, bagi saya, stasiun televisi itu kurang mempertimbangkan resiko dari apa yang mereka lakukan. Di satu sisi, media memang wajib melindungi identitas narasumber jika diperlukan dan atas permintaan narasumber. Namun di sisi lain, media bisa dituduh menyajikan informasi yang tidak jelas jika dengan sengaja mengaburkan narasumber – termasuk dengan menutupi wajah narasumber menggunakan topeng, menyembunyikan wajar narasumber, hingga memodifikasi suara narasumber dengan menggunakan voice processor.Entah narasumber itu asli atau tidak, jika sudah melalui proses pengaburan fakta identitas maka output yang dihasilkan pun akan kabur ke-asli-annya dan bisa disangsikan oleh konsumen berita. Logikanya, siapa yang akan kenal dengan narasumber tersebut karena data-datanya dikaburkan – meski dengan alasan untuk melindungi narasumber. Jikapun semuanya terbongkar, seandainya narasumber tersebut memang asli, apakah dia berani mengakuinya dibawah tekanan? Saya rasa tidak, dan akhirnya media terpaksa berjuang diatas kakinya sendiri dan parahnya bisa dituduh melakukan kebohongan publik.
Banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh media dalam menyampaikan informasi ke masyarakat karena pemberitaan kita dinikmati oleh banyak kepala dengan perspektif yang berbeda-beda. Media perlu memperhatikan ‘self sencorship’ serta mengedepankan informasi dan data yang jelas di dalam setiap berita yang disampaikan.
Di radio saya tidak pernah menyetujui penyiaran suara narasumber yang dikaburkan dengan menggunakan voice processor. Menampilkan narasumber yang identitasnya dikaburkan akan menjadi sesuatu yang sia-sia belaka, beresiko dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Untuk mewakili ide atau informasi “rawan” yang kita dapat dari narasumber yang tidak bersedia diekspos, bisa melalui statement penyiar atau reporter yang diawali dengan penegasan: “dari informasi yang kami dengar, ada isu yang beredar di masyarakat, dan sebagainya…” kemudian dilanjutkan dengan penyampaian informasi-informasi tersebut secara hati-hati. Dengan demikian, media bisa meredam resiko dan informasi yang didapat oleh media tetap dapat disampaikan dengan baik ke masyarakat.
Menurut polisi, narasumber bertopeng yang muncul dalam acara tersebut adalah seseorang yang dibayar oleh pihak televisi untuk berpura-pura menjadi makelar kasus yang telah beroperasi selama 12 tahun di Mabes Polri. Tentu saja pihak televisi membantah bahwa pihaknya telah membuat rekayasa terhadap berita.
Banyak spekulasi yang muncul dari kasus ini. Ada yang menduga, kasus ini sengaja dilempar untuk menjatuhkan nama baik stasiun televisi tersebut atau komentar yang mengatakan bahwa stasiun televisi itu menjadi pelanduk yang ada ditengah dua gajah yang sedang bertarung.
Di luar benar tidaknya isu yang beredar, bagi saya, stasiun televisi itu kurang mempertimbangkan resiko dari apa yang mereka lakukan. Di satu sisi, media memang wajib melindungi identitas narasumber jika diperlukan dan atas permintaan narasumber. Namun di sisi lain, media bisa dituduh menyajikan informasi yang tidak jelas jika dengan sengaja mengaburkan narasumber – termasuk dengan menutupi wajah narasumber menggunakan topeng, menyembunyikan wajar narasumber, hingga memodifikasi suara narasumber dengan menggunakan voice processor.Entah narasumber itu asli atau tidak, jika sudah melalui proses pengaburan fakta identitas maka output yang dihasilkan pun akan kabur ke-asli-annya dan bisa disangsikan oleh konsumen berita. Logikanya, siapa yang akan kenal dengan narasumber tersebut karena data-datanya dikaburkan – meski dengan alasan untuk melindungi narasumber. Jikapun semuanya terbongkar, seandainya narasumber tersebut memang asli, apakah dia berani mengakuinya dibawah tekanan? Saya rasa tidak, dan akhirnya media terpaksa berjuang diatas kakinya sendiri dan parahnya bisa dituduh melakukan kebohongan publik.
Banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh media dalam menyampaikan informasi ke masyarakat karena pemberitaan kita dinikmati oleh banyak kepala dengan perspektif yang berbeda-beda. Media perlu memperhatikan ‘self sencorship’ serta mengedepankan informasi dan data yang jelas di dalam setiap berita yang disampaikan.
Di radio saya tidak pernah menyetujui penyiaran suara narasumber yang dikaburkan dengan menggunakan voice processor. Menampilkan narasumber yang identitasnya dikaburkan akan menjadi sesuatu yang sia-sia belaka, beresiko dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Untuk mewakili ide atau informasi “rawan” yang kita dapat dari narasumber yang tidak bersedia diekspos, bisa melalui statement penyiar atau reporter yang diawali dengan penegasan: “dari informasi yang kami dengar, ada isu yang beredar di masyarakat, dan sebagainya…” kemudian dilanjutkan dengan penyampaian informasi-informasi tersebut secara hati-hati. Dengan demikian, media bisa meredam resiko dan informasi yang didapat oleh media tetap dapat disampaikan dengan baik ke masyarakat.
Jangan sampai berita yang kita sajikan sulit dibedakan dengan reality show.
transkrip percakapan IR dan narasumber yang diduga markus palsu melalui Blackberry Messenger klik di sini
Be the first to like this post.
keep blogging.
http://monang245.wordpress.com/